Kamis, 26 September 2019

Psychology Corner: Pokok Pokok Pemikiran Arnold Gessell: Bisakah kita mulai memberi tempat bagi Anak-anak kita



“Suatu hari, saya sangat frustrasi atau malah mungkin demotivasi, menghadapi seorang anak yang tak juga kunjung mau melakukan instruksi sederhana yang saya berikan. Berbagai tarik ulur metode dalam keterbatasan pengetahuan dan pengalaman telah saya lakukan. Namun, tidak ada hasil yang konsisten dan melekat seterusnya setiap hari. Sampai saya berpikir, apakah sesungguhnya dia butuh itu? Apakah dia sudah siap untuk suatu tugas? Apakah yang sebenarnya dia butuhkan?”

academichelp.net

Saya kembali memikirkan judul yang tepat untuk kontemplasi kali ini. Namun, rasa-rasanya kata “memberi tempat” sudah sangat tepat mewakili visualisasi saya tentang kebutuhan anak-anak akan sebuah “ruang”, “tempat”, atau dalam hal ini sebuah kesempatan dan kelonggaran untuk menjadi diri mereka sendiri. Kita atau saya sebagai orang dewasa, baik sebagai ibu secara alamiah atau pendidik, seringkali secara sadar atau tidak sadar menjadikan anak-anak sebagai sebuah objek yang perlu dan bisa kita kendalikan menurut keinginan kita. Ya.. memang kita mengatakan “ini demi kebaikannya”. Namun betulkah itu? Jangan-jangan semua rencana, instruksi, dan niat-niatan kita yang terlihat tulus itu sebenarnya hanya wahana bagi kita untuk aktualisasi ego kita yang selalu ingin mengendalikan, membentuk, dan menguasai orang lain, yang dalam konteks kita kali ini adalah anak.

Sejujurnya, saya sangat bersyukur dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan praktik-praktik tentang pengasuhan atau pun pendidikan anak pada tahun tahun ini. Banyak ide yang sudah berpihak pada anak seperti sekolah inklusi, kota ramah anak, aplikasi anak dll,, sangat banyak sekali. Ide-ide tersebut pada implementasinya membutuhkan ketulusan dan kesungguhan untuk benar-benar membuat sebuah lingkungan yang berpikiran berbasis kebutuhan atau hak anak. Momen menjadi seorang pendidik, adalah sebuah tantangan untuk kita mengetes idealisme kita tentang pendidikan yang berbasis pada kemampuan anak perindividu atau akhirnya kita akan menjadi pendidik yang hanya memaksakan suatu pakem sosial, penyeragaman anak-anak dalam satu model yang menurut kita sempurna? Ya setidaknya itulah yang saya rasakan dan membuat saya gelisah.

ktar.com

Hingga pada suatu kesempatan saya berkenalan dengan Arnold Gessell dalam sebuah buku Teori Perkembangan. Dia memang tidak seterkenal Ilmuwan lain seperti Freud, Montessori, Maslow, dan lainnya. Namun, pokok-pokok pemikirannya yang saya tangkap cukup sederhana membuat saya mundur beberapa langkah untuk kembali menata hati dan niat dalam mendidik anak-anak. Pemikiran yang membawa pada pertanyaan “Bisakah kita menghargai anak-anak kita dengan memberi kesempatan anak-anak melakukan sendiri apa saja yang bisa membuat mereka bertumbuh?”

Siapa Arnold Gessell?
schoolworkhelper.net

Dokter Bayi, itulah sebutan yang diterima oleh Arnold Gessell (1880-1961). Laki-laki yang tumbuh besar di Alma, Wincounsin, sebuah kota kecil di Sungai Mississippi atas ini telah secara habis-habisan mempelajari perkembangan anak-anak melalui observasi. Bahkan untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai proses-proses fisiologis yang melandasi perkambangan tersebut dia kuliah kedokteran pada usia 30 tahun. Padahal saat itu dia telah menyandang gelar Phd dan Psikolog yang sukses. Pada usia 50 tahun Gessell terlibat dalam penelitian tentang perkembangan neuro motorik bayi dan anak-anak bersama dengan koleganya di Yale Clinic of Child Development. Gessell mengembangkan tes kecerdasan bayi untuk pertama kalinya dan juga peneliti pertama yang menggunakan film untuk observasi. Jadi memang Gessell ini sangat semangat dan sungguh-sungguh dalam niatannya memahami anak-anak. Lantas seperti apa konsep Gessell tentang anak-anak?

Konsep Kematangan
Pada tulisan saya sebelumnya Tahap Perkembangan Ala Rousseau telah dijelaskan bahwa tingkah laku dituntun oleh rencana batiniah dan sesuai time line Sang Alam. Hal tersebut sering dikenal dengan konsep kematangan biologis. Arnold Gessell adalah salah satu peneliti yang sangat bersemangat mempelajari konsep dari Rousseau ini. Gessell menyebutkan bahwa tumbuh kembang anak ditentukan oleh dua faktor.
1. Anak adalah produk dari lingkungannya
2. Fundament yang paling penting adalah keyakinan Gessell bahwa perkembangan anak berasal dari dalam, yaitu dari aksi gen-gen di tubuhnya. Hal tersebut dikenal dengan konsep kematangan.

Gessell mengamati bahwa semua proses perkembangan terjadi dalam urutan proses tertentu yang tidak pernah terbalik. Contohnya:
A. Jantung selalu menjadi organ yang pertama berkembang dan berfungsi
B. Setelah jantung yang berkembang adalah otak dan saraf tulang belakang.
C. Setelah itu bagian lain yaitu tangan dan kaki mulai terbentuk
D. Proses urutan itu juga terjadi setelah bayi lahir, yaitu kepala berkembang lebih dahulu. Sehingga kadang kepala bayi terlihat lebih besar daripada proporsinya dgn kaki dan tangan.
E. Anggota badan yang dieksplore pertama kali oleh bayi juga berasal dari kepala yaitu mata, mulut, lidah.
F. Baru kemudian mereka mulai menggerakan kaki dan tangan mereka.

sutori.com


Kecenderungan pertumbuhan dari kepala menuju kaki ini disebut dengan chepalocaudal.Berbagai urutan perkembangan ini terjadi berurutan atau bergiliran sesuai dengan pertumbuhan sistem saraf. Nah anak-anak memiliki tingkat perkembangan yang berbeda-beda, sehingga kecepatan pertumbuhannya pun berbeda-beda. Namun, prinsipnya sama yaitu perkembangan anak pasti ada urutan pakemnya yang dikendalikan oleh mekanisme genetik mereka.

Saat bayi lahir ke dunia bayi memasuki alam yang berbeda jenisnya dengan saat di dalam kandungan. Dunia luar adalah dunia yang penuh intervensi dan standar-standar yang harus bayi penuhi bahkan sejak dia masih sangat kecil. Sebagai contoh sederhana, saat bayi lahir orang akan mulai mengomentari berat badan yang kecil, kulit yang warna dan kehalusannya berbeda, tangisan yang lain dari yang lain. Dan intervensi lingkungan orang dewasa itu terus berkembang sepanjang hayat si bayi hingga dewasa. Why don’t, we have a space for the baby to accept him as the way he are? Secara naluriah rasanya memang kita sulit menerima bayi-bayi ini apa adanya dengan kegembiraan. Of course its okay to be worry of something that maybe wrong with the baby, but please have a time to respect them and have a hopefull heart to care with their lack. Bahkan jika ada bayi yang memiliki kekurangan pun, berhentilah menjudge bahwa dia akan menderita ke depannya. Pakailah hati yang penuh harapan. Sebab bisa saja kematangan biologis tiap anak berbeda.

anaksehatsllu.blogspot.com


It doesnt make sense if we say a baby is abnormal because they just have a little lateness of their skill to walk. Selama itu tidak terlalu jauh dari jadwal perkembangannya, kita tidak perlu menuntut bayi ini untuk segera bisa melakukan banyak hal. Misalkan seorang bayi 3 bulan belum bisa tengkurap jangan langsung judge dia dan memasang perasaan khawatir berlebihan. Just give him a time. Beri dia waktu untuk menyiapkan semua perkembangan fisiknya. Pada momen yang tepat mereka akan sanggup melakukan tugas menurut desakan-desakan dalam dirinya. Sebelum momen itu tiba, pengajaran sekecil apapun malah bisa menciptakan ketegangan antara bayi dan pengasuh.

Berbagai contoh pola-pola urutan alami perkembangan anak
1. Duduk sebelum berdiri
2. Mengoceh sebelum berbicara
3. Mengarang-ngarang sebelum mengatakan kebenaran
4. Menggambar lingkaran sebelum menggambar kotak
5. Egois sebelum altruis (peduli)
6. Bergantung pada orang lain sebelum mandiri.
7. Menggenggam dadu dengan tangannya sebelum menjumput dengan jarinya.
Berbagai hal di atas Gesseil yakini berkembang sesuai dengan kematangan biologis seperti perkembangan otot, hormon, dll.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa jika anak kita, anak anda, belum bisa melakukan sesuatu yang anda inginkan yang anda anggap normal dan wajar bagi anak seusianya, janganlag terburu-buru pesimis apalagi memarahi dan melabeli anak kita tidak mampu atau nakal. They need a time to adapt with this strange and complex world.

Beberapa tips pengasuhan berbasis teori kematangan biologis Arnold Gessell:
1. Buanglah jauh-jauh pandangan bahwa perkembangan anak semata-mata bergantung kepada cara kita mendidik mereka, sehingga kita berpikir jangan sampai buang-buang waktu.
2. Berusahalah menghargai keajaiban pertumbuhan. Amati dan nikmatilah fakta bahwa setiap minggu dan setiap bulan membawa perkembangan baru bagi mereka.
3. Hargailah ketidakdewasaanya. Antisipasilah fakta bahwa dia ingin, seperti anak-anak pada umumnya, kebutuhan untuk merangkak sebelum berjalan, mengekspresikan diri dengan kata tunggal sebelum bicara dengan kalimat.
4. Cobalah menghindari berpikir dalam sudut pandang apa yang akan terjadi kemudian . nikmatilah, dan biarkanlah anak-anak menikmati juga setiap tahapan yang dicapainya sebelum melangkah ke tahapan yang lebih besar.

juniorimprint.com

Menurut saya pribadi dan saya yakin, daripada kita menuntut anak untuk ini itu, mematuhi berbagai perintah, jauh jauh jauh lebih penting untuk memfasilitasi perkembangannya dengan cara,
1. memenuhi nutrisi fisiknya,
2. menjadi figur yang menerima dia apa adanya,
3. mengenalkan berbagai hal daripada menyuruh dia melakukan sesuatu yang tunggal spesifik,
4. Memberi lingkungan yang aman dari berbagai potensi kecemasan fisik dan psikologis seperti hindari pertengkaran orang tua, ciptakan lingkungan bersih, buat suasana keluarga yang komunikatif, terbuka dan menerima segala kekurangan dan kelebihan anak.
5. Daripada berpikir apa yang anak kita hebat, apa yang anak kita lebih hebat dari pada anak yang lain, apa yang membanggakan dari anak kita, pertama-tama berpikirlah apa yang sudah kita berikan untuk mereka? Tepatkah yang kita berikan ke anak-anak kita?

Bagaimana? Apakah kita siap akan kerendahan hati untuk menghargai anak kita? Ketidakpatuhannya? Kelambatannya? Kemanjaannya? Lets try and see

Inspired from:
1. Teori Perkembangan, William Craine. Pustaka Pelajar.
2. Pengalaman saya sebagai anak, orang tua, dan pendidik di sebuah sekolah inklusi
need discussion? please contact me nurululfahpujilestari@gmail.com 




Sabtu, 07 September 2019

Challanging Moment: Simple Thing, Big Effort, Great Meaning

Collage of my experience in inclusive school

Pengalaman sederhana dan penuh makna di Sekolah Inklusi


sumber gambar : latonyawilkins.com


“Saya percaya bahwa seorang guru yang penuh kasih adalah salah satu kekuatan yang paling hebat dan positif yang ada di lingkungan masyarakat”
J. David Smith

Menjadi seorang guru adalah hal yang luar biasa menantang dan hal yang penuh dengan ribuan-jutaan pengalaman yang nyaris baru setiap hari. Berbagai metode pembelajaran, rencana pembelajaran, dan persiapan-persiapan lain yang guru lakukan bagi sebuah kelas akan direspon secara berbeda oleh setiap anak. Sekali lagi, individual differences, perbedaan individual, adalah hal yang mutlak dan tak mungkin dapat diabaikan dalam proses kita mengelola sebuah kelas. Betapapun secara sengaja atau pun tak sengaja kita menutup mata terhadap perbedaan tiap anak, dengan segera kita akan kembali tersadar oleh tingkah-tingkah orisinil mereka yang seakan-akan telah menjadi bagian dari keajaiban semesta.

Dalam sebuah kelas, yang katakanlah tidak inklusif, yang hanya menerima anak “non abk”, tetap ditemui bermacam perbedaan antar individu yang tentunya saling sangkut dengan hasil prestasi akademis. Di mana kita secara awam memahami bahwa prestasi akademis lah yang telah menjadi hipnoter utama dalam pusaran pembelajaran kita. Semua perilaku, usaha, dan pengetahuan seakan harus bisa dikonversikan menjadi “prestasi akademis”.

Di sekolah inklusi, hal semacam “prestasi akademis” adalah hal yang berbeda, paling tidak itulah yang saya temui di tempat saya bekerja. Bukan berarti sekolah hanya berisi segala sesuatu yang penting fun atau senang dan sama sekali tidak memiliki target akademis. Di sekolah ini saya melihat pentingnya penekanan pada perilaku/ behaviour dan sikap/attitude. Hal konkrit terkait itu yang saya lihat contohnya adalah:


a. Pembiasaan sikap bertanggung jawab dari yang paling sederhana.

Hal ini seperti: menaruh botol, tas, dan perlengkapan belajar pada rak-rak yang berbeda satu sama lain. Percayalah hal itu memang terdengar mudah dan sederhana. Namun, ada saja anak-anak yang lupa atau sengaja tidak menaruh sesuatu sesuai dengan tempatnya. Kata kunci di sini adalah “kesadaran untuk bertanggung jawab”.


                                                   sumber gambar: dekoruma.com



b. Pembiasaan mengkomunikasikan masalah.

 saat anak-anak bermain dengan teman-temannya akan seringkali terjadi masalah antar mereka sendiri. Guru di sini tidak menekankan “Kamu yang salah, dan ini hukuman mu!” Guru akan mencari keterangan dari pihak-pihak yang terlibat sampai guru betul-betul mendapat benang merahnya. Sambil guru mencari keterangan dengan bertanya pada anak tentang apa yang sesungguhnya terjadi, anak jadi terbiasa untuk membicarakan masalah dan mencari solusinya, bukannya menyembunyikan masalah yang belum terselesaikan. Kata kuncinya adalah “komunikasi” dan “problem solving”.


                                                  sumber gambar: healthychildren.org

c. Pembiasaan sikap saling menghargai dalam berkomunikasi.

Perilaku ini dilatih mulai dari yang paling sederhana: mendengarkan saat orang lain berbicara. Secara sederhana di sekolah ini anak-anak sudah melewati fase “ayo berani lah berpendapat”. Mereka selalu aktif berbicara dan selalu ingin menyampaikan pendapatnya. Sehingga yang perlu ditumbuhkan adalah a). Angkat tangan jika ingin berpendapat dan tunggu hingga ditunjuk, b). Berbicara bergantian, c). mendengarkan orang lain yang sedang berbicara. Percayalah sekali lagi kepadaku ini adalah hal sederhana yang terkadang tidak mudah dan cepat dibiasakan. XD. Kata kunci di sini adalah “Hargai ide temanmu”

                                                  sumber gambar: shutterstock.com

d. Pembiasaan sikap menghargai perbedaan.

Pada dasarnya jika kita mau betul-betul menghargai keindividualitasan setiap orang/anak. Maka bisa kita sebut semua sekolah harusnya inklusi. Semua sekolah harusnya menghargai dan mengembangkan dengan tulus kemampuan setiap anak. Baik yang akademis bagus atau tidak, patuh atau tidak patuh, sering bolos atau tidak. Saya membayangkan semua sekolah adalah sekolah dengan guru-guru yang tidak hobi melabeli anak dengan sebutan pintar, tidak pintar, unggulan, tidak unggulan dll. Di sekolah inklusi yang saya temui, perkembangan betul-betul diusahakan untuk dilihat, dilaporkan dan diasah per individu. Hal itu bisa berwujud dengan membuat soal-soal yang sesuai dengan pencapaian anak. Bisa juga dengan membuat jenis ujian yang sifatnya terbuka seperti lisan, praktik, atau project yang bebas untuk berkarya sesuai kemampuan dan kreativitas anak.
Di sekolah inklusi kesadaran terhadap perbedaan benar-benar harus menyeluruh mulai dari perbedaan abk non abk, perbedaan agama, perbedaan ras dan suku, perbedaan sosial ekonomi, perbedaan kemampuan akademis dll. Di sini sebelum guru mencoba menanamkan sifat menghargai perbedaan itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa guru juga harus mempunyai sifat menghargai terlebih dahulu. Kata kuncinya adalah menyadari, menerima dan mengembangkan berbagai kemampuan yang berbeda ke arah yang positif”.

                                                sumber gambar : shutterstock.com


Saya kira itu sikap dan perilaku perilaku dasar yang ditanamkan mulai dari kelas bawah (1,2) dan kelas atas. Sedangkan untuk metode pembelajaran tentunya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan. Apalagi bagi guru yang menghandle kelas dengan murid yang sangat bervariasi jenis kebutuhan khususnya. Nah, mengenai cara menghandle atau menyiapkan kelas yang memiliki variasi kemampuan yang signifikan (misal dalam satu kelas ada abk atau abk dengan kemampuan berbeda-beda) saya akan bahas dalam review buku : Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran karya J David SMith. 

Refleksi Pelatihan Guru Merdeka Belajar

Refleksi Pelatihan Guru Merdeka Belajar                                                                         picture: wmnf.org ...