Sabtu, 07 September 2019

Challanging Moment: Simple Thing, Big Effort, Great Meaning

Collage of my experience in inclusive school

Pengalaman sederhana dan penuh makna di Sekolah Inklusi


sumber gambar : latonyawilkins.com


“Saya percaya bahwa seorang guru yang penuh kasih adalah salah satu kekuatan yang paling hebat dan positif yang ada di lingkungan masyarakat”
J. David Smith

Menjadi seorang guru adalah hal yang luar biasa menantang dan hal yang penuh dengan ribuan-jutaan pengalaman yang nyaris baru setiap hari. Berbagai metode pembelajaran, rencana pembelajaran, dan persiapan-persiapan lain yang guru lakukan bagi sebuah kelas akan direspon secara berbeda oleh setiap anak. Sekali lagi, individual differences, perbedaan individual, adalah hal yang mutlak dan tak mungkin dapat diabaikan dalam proses kita mengelola sebuah kelas. Betapapun secara sengaja atau pun tak sengaja kita menutup mata terhadap perbedaan tiap anak, dengan segera kita akan kembali tersadar oleh tingkah-tingkah orisinil mereka yang seakan-akan telah menjadi bagian dari keajaiban semesta.

Dalam sebuah kelas, yang katakanlah tidak inklusif, yang hanya menerima anak “non abk”, tetap ditemui bermacam perbedaan antar individu yang tentunya saling sangkut dengan hasil prestasi akademis. Di mana kita secara awam memahami bahwa prestasi akademis lah yang telah menjadi hipnoter utama dalam pusaran pembelajaran kita. Semua perilaku, usaha, dan pengetahuan seakan harus bisa dikonversikan menjadi “prestasi akademis”.

Di sekolah inklusi, hal semacam “prestasi akademis” adalah hal yang berbeda, paling tidak itulah yang saya temui di tempat saya bekerja. Bukan berarti sekolah hanya berisi segala sesuatu yang penting fun atau senang dan sama sekali tidak memiliki target akademis. Di sekolah ini saya melihat pentingnya penekanan pada perilaku/ behaviour dan sikap/attitude. Hal konkrit terkait itu yang saya lihat contohnya adalah:


a. Pembiasaan sikap bertanggung jawab dari yang paling sederhana.

Hal ini seperti: menaruh botol, tas, dan perlengkapan belajar pada rak-rak yang berbeda satu sama lain. Percayalah hal itu memang terdengar mudah dan sederhana. Namun, ada saja anak-anak yang lupa atau sengaja tidak menaruh sesuatu sesuai dengan tempatnya. Kata kunci di sini adalah “kesadaran untuk bertanggung jawab”.


                                                   sumber gambar: dekoruma.com



b. Pembiasaan mengkomunikasikan masalah.

 saat anak-anak bermain dengan teman-temannya akan seringkali terjadi masalah antar mereka sendiri. Guru di sini tidak menekankan “Kamu yang salah, dan ini hukuman mu!” Guru akan mencari keterangan dari pihak-pihak yang terlibat sampai guru betul-betul mendapat benang merahnya. Sambil guru mencari keterangan dengan bertanya pada anak tentang apa yang sesungguhnya terjadi, anak jadi terbiasa untuk membicarakan masalah dan mencari solusinya, bukannya menyembunyikan masalah yang belum terselesaikan. Kata kuncinya adalah “komunikasi” dan “problem solving”.


                                                  sumber gambar: healthychildren.org

c. Pembiasaan sikap saling menghargai dalam berkomunikasi.

Perilaku ini dilatih mulai dari yang paling sederhana: mendengarkan saat orang lain berbicara. Secara sederhana di sekolah ini anak-anak sudah melewati fase “ayo berani lah berpendapat”. Mereka selalu aktif berbicara dan selalu ingin menyampaikan pendapatnya. Sehingga yang perlu ditumbuhkan adalah a). Angkat tangan jika ingin berpendapat dan tunggu hingga ditunjuk, b). Berbicara bergantian, c). mendengarkan orang lain yang sedang berbicara. Percayalah sekali lagi kepadaku ini adalah hal sederhana yang terkadang tidak mudah dan cepat dibiasakan. XD. Kata kunci di sini adalah “Hargai ide temanmu”

                                                  sumber gambar: shutterstock.com

d. Pembiasaan sikap menghargai perbedaan.

Pada dasarnya jika kita mau betul-betul menghargai keindividualitasan setiap orang/anak. Maka bisa kita sebut semua sekolah harusnya inklusi. Semua sekolah harusnya menghargai dan mengembangkan dengan tulus kemampuan setiap anak. Baik yang akademis bagus atau tidak, patuh atau tidak patuh, sering bolos atau tidak. Saya membayangkan semua sekolah adalah sekolah dengan guru-guru yang tidak hobi melabeli anak dengan sebutan pintar, tidak pintar, unggulan, tidak unggulan dll. Di sekolah inklusi yang saya temui, perkembangan betul-betul diusahakan untuk dilihat, dilaporkan dan diasah per individu. Hal itu bisa berwujud dengan membuat soal-soal yang sesuai dengan pencapaian anak. Bisa juga dengan membuat jenis ujian yang sifatnya terbuka seperti lisan, praktik, atau project yang bebas untuk berkarya sesuai kemampuan dan kreativitas anak.
Di sekolah inklusi kesadaran terhadap perbedaan benar-benar harus menyeluruh mulai dari perbedaan abk non abk, perbedaan agama, perbedaan ras dan suku, perbedaan sosial ekonomi, perbedaan kemampuan akademis dll. Di sini sebelum guru mencoba menanamkan sifat menghargai perbedaan itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa guru juga harus mempunyai sifat menghargai terlebih dahulu. Kata kuncinya adalah menyadari, menerima dan mengembangkan berbagai kemampuan yang berbeda ke arah yang positif”.

                                                sumber gambar : shutterstock.com


Saya kira itu sikap dan perilaku perilaku dasar yang ditanamkan mulai dari kelas bawah (1,2) dan kelas atas. Sedangkan untuk metode pembelajaran tentunya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan. Apalagi bagi guru yang menghandle kelas dengan murid yang sangat bervariasi jenis kebutuhan khususnya. Nah, mengenai cara menghandle atau menyiapkan kelas yang memiliki variasi kemampuan yang signifikan (misal dalam satu kelas ada abk atau abk dengan kemampuan berbeda-beda) saya akan bahas dalam review buku : Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran karya J David SMith. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Refleksi Pelatihan Guru Merdeka Belajar

Refleksi Pelatihan Guru Merdeka Belajar                                                                         picture: wmnf.org ...